• About

Ningsih dan Tedjo

 on Kamis, 18 Februari 2016  

Tedjo,Si Miskin Yang Malang


  
Di pagi hari,di sebuah desa yang terasingkan oleh peradaban.Matahari tampil amat gagah,cerah,indah,dan sumber kehidupan warga.Kehangatanya mulai kurasakan,menemani langkahku.Kuatkan langkah kakiku,dengan gagah menuju ladang kehidupan.Sejak pukul 5 pagi aku telah memulai aktivitasku,seperti warga desa umumnya.Aku adalah seoarang buruh tani,yaaa aku buruh tani bukan petani.Petani di desa kami adalah orang-orang yang memiliki tanah untuk bercocok tanam.Sedangkan aku,sudahlah...........mungkin sudah nasibku.Aku sudah tidak memiliki seorang bapak sejak usiaku 18 tahun kira-kira 7 tahun yg lalu,itupun kalau benar.Aku tidak tahu pasti berapa umurku sekarang,aku tidak bisa membaca dan menulis.Tidak pernah dalam hidupku aku menikmati indahnya masa sekolah,saat dimana temanku berangkat pagi-pagi sekali dengan pakaian rapi dan mencium tangan kedua orang tua mereka.Kadang aku iri melihat teman-temanku,ketika melihat simbok mereka di pagi hari berterik-teriak memanggil mereka.Aku hanya bisa bermimpi...bermimpi...dan bermimpi...hingga mungkin tak ada jalan keluar yang adil bagiku.Masa kecil kulewati dengan membantu bapak disawah,di sawah orang tentunya.Hanya itu yang mampu kulakukan,dan semoga uang imbalan itu cukup untuk makan keluarga kita hari ini.
Kini aku telah remaja,aku tulang punggung utama keluarga kami.Semenjak Bapak telah tiada ,dan ibuku yang mulai terserang penyakit tua.Keluarga kecil yang sederhana ini masih mampu untuk bertahan dengan kehidupan yang pas-pasan.Tanpa kemewahan apapun,rumah tanpa perabot itulah rumah kami.Bagaimanapun keadanya kami tetap bersyukur,setidaknya kami memiliki tetangga-tetangga yang baik.Pak Broto dan Bu Dewi adalah orang terkaya di desa kami,mereka hidup dengan mewah.Rumah mereka bagai istana di rimba raya,tapi apapun itu nampaknya kekayaan tak membuat mereka besar kepala.Pak Broto dan Bu Dewi selalu membantu warga desa yang kesusahan,terutama simbok yang menjaga Ningsih putri Pak Broto dan Bu Dewi yang cantik itu.Ningsih sedari kecil hidup bersama kami,dari pagi hingga sore dan pulang saat orang tuanya kembali dari kantor.Pak Broto adalah pejabat Pemda di kota kami,kota Wonosobo.Sedangkan Bu Dewi adalah Dokter di Rumah Sakit swasta terbesar di kota kami,benar-benar keluarga intelektual yang mapan.
Tanpa aku sadar di hatiku muncul perasaan yang tak aku tau namanya.Dimana hatiku berdetak begitu kencang ketika bertemu dengan ningsih,sahabat masa kecilku yang lama tidak aku jumpai.Ningsih menghabiskan masa SMP,SMA,dan kuliah-nya di kota lain,tentu karena pendidikan di desa kami tidaklah representatif untuk mereka.Aku di suruh Bu Dewi untuk menjemput ningsih ke terminal,di perjalanan hatiku terus berdetak membayangkan betapa cantik sahabat kecilku ini.Satu jam sudah perjalananku,dan kini aku sampai di terminal.Aku parkirkan motor lawas pinjaman Pak Broto ini,aku berkeliling-keliling terminal mencari di mana ningsih."Ahhhh dimana ningsih,tak muncul-mucul juga kau dek",gumamku dalam hati.Aku duduk sebentar sembari beristirahat di bawah pohon palem yang rindang ini,"Mas Tedjo yaaaa",seorang gadis manis menepuku dari belakang dengan memanggil namaku."Iyaaaaa,adek siapa yaa",jawabku dengan gugup."Aku ningsih mas,masa Mas Tedjo lupa",kata gadis itu memperkenalkan diri.Aku benar-benar kaget tak percaya,seluruh tubuhku gemetar baru pertama aku melihat gadis secantik ini.Senyumnya yang begitu manis saat menyubut namaku,tanganya yang begitu halus saat bersalaman denganku,dan tentunya matanya yang indah begitu bening bagaikan permata bidadari surga."Mas Tedjo,yuukk antar Ningsih pulang",seketika saja aku sadar bahwa aku telah melamuun,semoga Ningsih tak bisa membaca fikiranku.
Di peejalanan pulang otaku terus bergerak liar,teringat masa kecil kita berdua.Saat Ningsih dan aku begitu asik bermain di sawah,kita habiskan waktu dari pagi hingga sore dengan bersama-sama.Penuh canda tawa,kami saling mengejek,dan masa-masa indah itu telah berlalu.Kini ningsih telah menjadi seorang gadis remaja yang cantik dengan pendidikan yang tinggi,susunan kata yang ia ucapkan begitu santun dan bersahaja.Tentu itu hal wajar,orang tua ningsih adalah golongan priyayi,yang begitu di hormati di desa kami.Aku benar-benar merasa tidak pantas,untuk sekedar dekat denganya.Mungkin cocok untuk sekedar sopir dan nyonya.Bagaimana tidak,masa mudaku ku habiskan dengan bekerja di sawah.Tubuhku hitam legam bagaikan batu hajar aswad,aku tak bisa baca tulis.Berbeda dengan ningsih,seorang sarjana kedokteran yang cantik dan terdidik.Lama sudah aku melamun hingga tak sadar,aku telah sampai di rumah Pak Broto.Telah menyambut di teras depan rumah,Pak Broto,Bu Dewi,dan tentu simboku.Suasana yang haru biru penuh derai air mata,tumpahan rasa rindu seorang anak pada orang tuanya dan begitu juga sebaliknya."Nduuk,kamu sehat kan",kata-kata yang di ucapkan simboku.Ibu kedua untuk Ningsih,seakan memecah suasana yang haru tersebut,keduanya berpelukan sangat-sangat erat."Ningsih sehat mboook",jawab ningsih dengan suara yang berat tersumbat air mata kerinduan.Setelah itu ningsih memeluk kedua orang tuanya dan sungkem kepada Pak Broto dan Bu Dewi,kedua orang tuanya.Begitulah Ningsih,dia lebih dekat dengan simboku dari pada orang tuanya sendiri.Setelah air mata perlahan mulai surut,kita semua masuk kerumah Pak Broto yang mewah itu.Telah tersaji makanan penyambutan untuk ningsih,begitu banyak,enak dan tentunya simboku yang memasaknya.Ada rendang,opor,tempe goreng,sayur asem dan makanan desa lainya juga tak ketinggalan sop ikan makanan kesukaan Ningsih.
Hari yang bersejarah itu kini telah di tutup,langit mulai gelap pertanda matahari mulai mengantuk.Ningsih......,aku terus terbayang wajahnya.Aku tidak tau sedang apa dia dirumah,aku telah pulang kerumahku bersama simbok.Malam itu aku benar-benar tak bisa tidur,masih tergambar jelas di benaku seorang gadis manis yang teramat menawan.Hari demi hari terus berlalu di iringi kekagumanku kepada sahabat kecilku itu,aku ingin menemuinya tapi aku takut.Aku ingin sekadar mengobrol denganya,tapi aku terlampau rendah diri.Namun angin surga terasa berhembus di pipiku,pintu kebahagiaan seperti di bukakan untuku.Hari itu tepat 5 hari setelah perjumpaanku dengan Ningsih remaja,tiba-tiba Ningsih datang ke rumahku.Dengan kata-kata manja ala Ningsih sahabat kecilku,dia mengajaku berkeliling kota masa kecilnya."Mas Tedjo jalan-jalan yuuuk,bosen mas di rumah terus",kata-kata Ningsih mengajaku.Dalam hatiku tentu aku sangat bahagia,tapi aku juga bingung.Bahagia,malu,minder dan takut semuanya bercampur aduk sedemikian cepatnya.Aku tidak memiliki pakaian yang bagus,semua pakaianku warnanya telah luntur menghilang seperti keberanianku.Sedangkan di depan gubuku yang hampir ambruk telah terparkir sebuah mobil Bmw 318i A/T tahun 2003,ningsih mungkin tahu kalau aku bisa menyetir dari Pak Broto.Aku memang sering menyetirkan Pak Broto kalau beliau sedang ada acara di luar kota.Tiba-tiba suara ningsih memecahkan imajinasiku,"ayo cepet mas,nggak pakai lama yaaa" dan akupun tanpa ada kata langsung menurutinya.Mungkin ini yang namannya cinta,penuh rasa minder aku keluar kamar dengan pakain terbagus yang kumiliki." waaah,Mas tTedjo ganteng ya kalau rapi",mungkin Ningsih mengerti apa yang kurasakan.Bahwa aku benar-benar minder berada di dekatnya,seorang gadis cantik yang teramat mempesona.Kami menghabiskan waktu di jalan dengan mengobrol,aku mencoba membawanya bernostalgia dengan masa kecil kami yang indah.Aku menceritakan masa-masa dimana aku dan tentu juga dia belum mengenal tentang cinta,kedekatan yang begitu polos dimana aku benar-benar menganggapnya sebagai adik kecilku yang manis.Tanpa kuduga dan dengan tiba-tiba Ningsih menatap mataku dengan teramat dalam dan berkaca-kaca,muncul dari bibirnya yang manis sebuah kata yang membuatku ingin tetap berada di dekatnya dan menjaganya dengan penuh tanggung jawab " makasih ya mas,udah jagain Ningsih saat kecil dulu,mas udah jagain ibu bapak ningsih,moga-moga mas dapetin wanita yang bisa bahagiain mas ".Hatiku ingin menangis,mungkin kalau di ijinkan hatiku ingin berkata " dan wanita itu adalah kamu Ningsih.Tapi apa daya aku terkadang juga tak mampu menatap matanya yang indah itu.Hari itu kami begitu bahagia,kami mengunjungi tempat-tempat indah di kota ini.Kami habiskan waktu bersama-sama,dengan canda dan tawa sampai tiba waktu untuk pulang.Aku mengantarkan Ningsih dengan mobilnya ke depan rumah yang mewah itu.Sebelum turun Ningsih tak lupa mengucapkan terimakasih padaku,dengan senyumnya yang manis dia berkata " makasih ya mas,Ningsih bahagia banget,mas hati-hati ya di jalan".Aku benar-benar bahagia saat itu,di sepanjang jalan aku terus bernyanyi sembari mengingat-ingat moment kebersamaanku denganya." Saat bahagiaku......berdua dengan dirimu,melangkah bersamamu.......",lagu romantis yang kunyanyikan berulang-ulang di perjalanan.Jalan setapak yang licin dan berlumpur ini seakan bukan masalah bagiku,terus berjalan aku melangkah kedepan......sangat jauh kedepan......terus kedepan......dan aku rasa ini terlalu jauh.Dimana aku dengan berani telah bermimpi untuk menikahi ningsih,"aughhh" tidak kuduga jempol kakiku berdarah.Aku tidak memperhatikan jalan hingga kakiku tersandung kerikil," mungkin ini isyarat dari tuhan untuku sedikit melupakan ningsih" fikiranku coba memberikan penghakiman.Setelah hari itu detik demi detik berlalu haripun seakan enggan untuk berhenti,aku menjalani aktivitasku seperti biasa bekerja di sawah orang.Sedangkan ningsih.......,entahlah.......aku tak berani menemuinya.
Hari ini hari minggu,dan udara di desa masih begitu sejuk.Mentari belum terlalulu terik,dan akupun masih menikmati hari liburku dengan nongkrong di depan warung Mbok Ipah,warung kopi terkenal di desaku.Tidak kuduga-duga Ningsih lewat di depan gerombolan pengangguran ini," cantik sini dong " kata Jono temanku menggodanya.Tak ketinggalan teman-temanku yang lain pun ikut menggodanya,aku bingung harus berbuat apa.Kemudian aku berdiri,ku hampiri Ningsih yang tampak begitu ketakutan."Sayang,mau kemana kau dek",aku coba berakting di depan Ningsih dan teman-temanku."Ehhh Mas Tedjo,Ningsih mau pulang nih,anterin yuuk",jawab Ningsih yang sepertinya paham maksudku." Siapanya kamu djoo ",Jono coba menghardiku." Pacarku jon ",aku jawab sekenanya.Kemudian kami pun pergi,dan kuantarkan Ningsih sampai kerumahnya." maaf ya dek,tadi aku nggak sopan ",aku coba memulai obrolan kita." nggak papa mas,Ningsih paham kok",jawabnya dengan manis.Tak beberapa lama kami pun sampai di depan rumah Ningsih,"makasih mas udah nganterin Ningsih sampai rumah" Ningsih berterima kasih padaku."iya dek " jawabku dengan singkat,lalu bergegas pergi aku meninggalkan rumah itu."kapan-kapan main kesini mas,nggak usah malu-malu",Ningsih berkata kepadaku yang telah cukup jauh meninggalkanya dengan cukup lantang.Aku hanya menatap wajahnya untuk memberikan senyuman terbaik yang kumiliki.Seperti biasa hari berlalu begitu cepat,dan akupun terus memikirkan tentang Ningsih.Aku ingin menemuinya tapi aku malu,melupakanyapun aku juga tak mampu.Akhirnya dengan berbagai pertimbangan yang telah kupikir matang-matang kuberanikan diri mengunjungi rumahnya,pakain batik peninggalan bapak adalah baju yang aku kenakan waktu itu.Tak seberapa lama aku sampai di rumah Ningsih,dengan membawa pisang raja yang aku petik kemarin sore."Tok...tok...tok" aku mengetuk pintu rumah Pak Broto yang terbuat dari kayu jati yang kuat dan mahal itu."Iyaaa,sebentarrrrr" terdengar suara wanita paruh baya yang aku rasa adalah Bu Dewi."Ehhh Tedjo ada apa kesini kok tumben,bawa pisang segala",dan ternya tebakanku benar itu adalah suara Bu Dewi." Ini ada titipan buat ibu dari simbok " kataku coba mencari alasan.Kemudian aku di persilakan masuk,kami mengobrol sebentar tentang hal yang aku rasa tidak penting.Bu dewi kemudian menyuruh Ningsih membuatkan minum untuku,waktu yang ku tunggu akhirnya tiba.Ningsih datang menemuiku dengan membawa segelas teh hangat,begitu anggun ia menyuguhkanya padaku.Tak beberapa lama Bu Dewi pergi meninggalkan kami,katanya ada urusan mendadak di rumah sakit padahal hari itu adalah hari minggu.Aku benar-benar kagum padanya,integritas dan pengabdianya pada kemanusiaan begitu besar.Disamping itu aku juga bahagia karena kami dapat dengan bebas dan leluasa mengobrol berdua,panjang lebar aku mengobrol dengan ningsih sampai-sampai yang kami obrolkan pun kadang tak jelas.Kami saling menatap dan tersenyum,semuanya benar-benar begitu indah.Setelah hari itu berulang kali aku berkunjung kerumahnya,bahkan terlampau sering hingga aku tak bisa menghitungnya.Tentunya dengan alasan yang berbeda untuk setiap kunjungan.Canda dan tawa terus kami rangkai bersama,hingga di antara kita telah tumbuh api cinta yang begitu menyala-nyala.Tanpa awal dan tanpa akhir itulah cinta kami,mengalir begitu lembut.Selembut butiran salju di kutub utara.
Di awal kedatanganku keluarga Pak Broto memperlakukanku dengan begitu baik,aku dilayani bak seorang tamu agung.Tapi seiring seringya aku bertamu kerumahnya,perlakuan mereka telah berubah.Tidak ada senyum,salam dan sapa apalagi minuman hangat yang mereka buatkan untuku.Namun bagiku itu semua tak penting,yang terpenting adalah aku dapat bertemu dengan Ningih dan Ningsih aku rasa begitu juga sebaliknya.Waktu itu di saat kunjungaku yang ke puluhan kalinya,ada sesuatu yang berbeda." tok...tok...tok..." seperti biasa aku mengetuk pintu hingga ada jawaban sebelum masuk kedalam rumah ini." Masuk Tedjo " jawab seorang laki-laki dengan suara bass yang begitu kental,siapa lagi kalau bukan pak broto.Sudah ada di dalam ruang tamu,duduk diatas korsi sutra itu Pak Broto dan Bu Dewi.Seakan siap menginterograsiku,mereka menatap mataku dengan tajam,pak broto terlihat begitu menyeramkan dengan kumisnya yang tebal itu." kamu mau ngapain kesini djo,jawab yang jujur ",pertanyaan Pak Broto yang membuatku gugup." eeee......anuuu pak " aku benar-benar gugup saat itu." tak usah anu....anu...... kami sudah tau maksudmu,dan Ningsih tidak ada di rumah" tanpa sempat aku menjawab beliau langsung melanjutkan omelanya " kamu seharusnya sadar siapa kamu juga siapa kami dan kami tidak akan merestuimu berhubungan dengan Ningsih sampai kapan pun,titik !!! sampai kapanpun,sekarang kamu pergi dari rumah ini" dengan hati yang begitu hancur aku meninggalkan rumah itu.Tidak pernah aku mengira selama ini,seorang Pak Broto dan Bu Dewi yang aku anggap begitu baik.Ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah orang kaya yang picik,hanya harta dan status sosial yang mereka nilai.Mereka tidak tahu betapa besar rasa cinta dan kasih sayangku untuk ningsih,dan aku rasa juga sebaliknya.Tidak henti hentinya aku memaki diriku di dalam hati,betapa bodohnya aku bahkan sesekali makian-makian kotor aku tujukan pada diriku.Dirumah aku langsung mengunci diriku di kamar,aku menangis sejadi-jadinya.Tak beberapa lama tikar usangku telah basah oleh air mata,mungkin air mata ini entah kapan akan habis ,tapi luka di hati ini tak akan pernah sembuh dan akan terus mengalirkan darah kotor yang penuh kebencian dan mengandung racun yang semakin lama akan membunuhku.Telah 2 minggu aku tak keluar kamar,tidak makan,tidak minum dan juga tidak tidur.Simbok di luar terus menangis memintaku untuk membuka kamarnya,tapi aku tak bisa membukakanya yang bahkan untuk berdiripun aku sudah tak sanggup.Akhinya simbok dengan sisa-sisa tenaganya yang telah musnah mendobrak pintu bambu kamarku," braakkkk" pintu kamarku terbuka dengan simbok yang juga ikut terselungkup,hatiku bertambah sesak melihat kejadian ini tapi tak ada sedikitpun kekuatan yang tersisa di tubuhku.Simbok bangkit kembali dan menangis melihat tubuhku yang telah kurus kering tak berdaya,"ngger...ngger....kamu kenapa kok bisa begini",simbok mencoba menyuapiku dengan bubur nasi buatanya.Tapi aku tak mau makan bahkan tak bisa makan lagi,bibirku telah begitu kaku dan cukup berat untuk sekedar membukanya.Simbok kemudian coba memanggil tabib,dan tabibpun tidak beberapa lama telah sampai di gubuku.Namun tabib ini tidak tau apa penyakitku.Penyakit asmara dan sakit karena cinta tidak akan sembuh karena obat atau ramuan apapun,hanya kehadiran yang terkasih yang mampu mengobatinya.Begitulah yang terjadi padaku,aku mungkin akan mati dimakan waktu tak lama lagi.Pergi selamanya dengan cinta yang tak akan ku lupakan,hanya kebencian yang aku miliki saat ini.Terus membunuhku secara perlahan,yang lama dan semakin lama telah membuat darahku menjadi hitam pekat sehitam kulitku.Terbang melayang,semakin tinggi dan tinggi hingga kini semuanya telah menjadi gelap,munggkin ini yang orang namakan maut.Tak ada apapun yang kulihat,dan mampu ku genggam.Hanya kebencian yang ku bawa selamanya.


Ningsih dan Tedjo 4.5 5 Unknown Kamis, 18 Februari 2016 Tedjo,Si Miskin Yang Malang    Di pagi hari,di sebuah desa yang terasingkan oleh peradaban.Matahari tampil amat gagah,cerah,inda...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
J-Theme